Apa Sih Beda Mentega dan Margarin?

Mentega dan margarin tampilannya nyaris sama, berwarna kuning dan pekat. Ada yang teksturnya lembut, ada pula yang kaku seperti sabun batangan. Ada yang dibungkus kertas aluminium atau plastik, ada juga yang dikemas dalam mangkuk atau kaleng. Apa sebenarnya perbedaan kedua produk ini? Mana yang lebih sehat?

Pada dasarnya, mentega dan margarin memiliki jumlah kalori yang sama. Mentega biasanya mengandung lemak alami dan beragam manfaat nutrisi lainnya, seperti vitamin A, D, E, dan K, yang larut dalam air. Manfaatnya antara lain untuk menguatkan tulang dan fungsi-fungsi tubuh lainnya. Namun  untuk menentukan mana yang lebih sehat, Anda perlu mengetahui kandungan lemak dari keduanya.

Mentega dibuat dari lemak hewan dan memiliki kandungan kolesterol diet maupun lemak jenuh yang tinggi. Kolesterol sebenarnya diperlukan untuk perkembangan otak, elastisitas sel, dan usus yang sehat. Namun, kandungan lemak jenuhnya yang tinggi membuat mentega tidak hanya meningkatkan kolesterol total, tetapi juga kolesterol jahat (LDL). LDL inilah yang biasanya menyumbat arteri, dan menyebabkan penyakit jantung. Menurut petunjuk makan sehat, kita sebaiknya tidak mengonsumsi lebih dari 10 persen kalori total seperti lemak jenuh.

Meskipun begitu, dari segi rasa umumnya orang lebih memilih mentega daripada margarin. Situs Natural Cooking Club (NCC) menyebutkan, tekstur mentega sangat lembut di suhu ruang, memiliki aroma susu yang enak, dan mudah meleleh di suhu hangat. Di pasaran, merek mentega yang tersedia antara lain Orchid, Wysman, dan Elle & Vire.

Sedangkan margarin, biasanya terbuat dari lemak nabati dan kandungan lemak jenuhnya lebih sedikit daripada mentega. Margarin kaya akan lemak tak jenuh yang mengandung omega-3 dan omega-6. Beberapa jenis margarin yang tersedia di pasaran adalah Blue Band, Simas, Palmboom, dan sebagainya.

Meskipun demikian lemak nabati cenderung meleleh dalam suhu ruangan sehingga dibuat lebih padat melalui proses hidrogenasi. Proses ini menghasilkan lemak trans yang diperkirakan meningkatkan kadar LDL dan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). HDL memberikan pertahanan terhadap lemak yang menyumbat arteri. Lemak trans ini dianggap lebih berbahaya untuk kesehatan daripada lemak jenuh.

Karena produsen makanan dan masyarakat umum mulai menyadari pengaruh negatif lemak trans, kini mereka menciptakan margarin non-hidrogenasi. Dalam margarin jenis ini tak ditemukan lagi lemak trans. Selain itu, tekstur margarin jenis ini lebih lembut daripada margarin stik yang lebih kaku. Produsen biasanya menambahkan sedikit minyak sawit sebagai pengganti minyak sayuran cair yang dihidrogenasi, sekaligus untuk membuat margarin lebih mudah dioleskan.

Inilah yang membedakan margarin dari mentega. Formulasi mentega hingga sekarang tidak berubah; masih terbuat dari krim dan mengandung lemak jenuh yang tinggi. Sisi baiknya, mentega lebih alami karena tidak menggunakan bahan kimia atau manipulasi yang tidak perlu. Pilihan yang tersedia sekarang adalah whipped butter, yaitu mentega asli yang sudah dikocok untuk memasukkan udara ke dalamnya. Mentega kocok lebih sedikit kalori dan lemaknya daripada mentega biasa, berkat udara tersebut. Cita rasanya pun sama dengan mentega biasa.

Margarin bisa menjadi pilihan yang lebih sehat, asal Anda memilih betul jenisnya dengan mengecek informasi gizi pada label kemasannya.
1. Cari margarin dengan lemak trans 0 gr.
2. Sebaiknya tidak memilih margarin dengan informasi “partially hydrogenated oil”.
3. Kandungan lemak jenuh sebaiknya sebesar 2 – 2,5 gr saja (atau kurang) per porsi. Jika lebih tinggi, kemungkinan mengandung banyak minyak sawit.
4. Cari yang bahannya lebih alami dan diproses secara minimal, karena seringkali produk ini mengalami manipulasi.

Sebagai tambahan, NCC menyebutkan, sebagai bahan kue -terutama cake- baik mentega maupun margarin mempunyai kelebihan dan kekurangan. Mentega punya aroma yang enak, tetapi terlalu lembut dan daya emulsinya kurang baik, menyebabkan tekstur kue kurang kokoh. Sedangkan margarin aromanya tidak seenak mentega, tapi daya emulsinya bagus sehingga bisa menghasilkan tekstur kue yang bagus. Umumnya orang lalu mencampur mentega dan margarin dengan perbandingan 1:1 untuk mendapatkan aroma yang enak sekaligus tekstur kue yang memuaskan.

⁠Sumber : SweetAdditions⁠

5 Cara Melatih Anak Jadi Pemimpin

Anak Anda punya bakat jadi pemimpin? Perhatikan, apakah ia selalu “mengatur” teman-temannya mengenai permainan apa yang akan dilakukan? Apakah teman-temannya dengan sukarela mengikuti kemauannya? Apakah ia selalu berani mengungkapkan pendapatnya, dan meminta untuk diberi kesempatan menyanyi atau berdoa di depan kelas?

Mungkin, belum semua anak menunjukkan perilaku yang menunjukkan karakter seorang pemimpin. Lalu, bagaimana cara mendorong mereka untuk mengembangkan perilaku kepemimpinan?

1. Tanyai pendapat mereka
Saat sedang bersama-sama di rumah, tanyakan pada mereka hal-hal seperti, “Kamu mau pakai kaus yang merah atau yang biru?” Atau, “Kamu mau susu cokelat atau vanila?” Dengan menjawab pertanyaan seperti ini, mereka melatih kemampuan berbicara asertif, dan bagaimana membuat keputusan yang baik.

2. Kenalkan mereka pada pemimpin
Ceritakan pada mereka mengenai sejumlah tokoh pemimpin, entah dari buku cerita, acara di TV, atau orang-orang yang ada di lingkungan Anda. Saat mereka melihat bagaimana pemimpin beraksi, mereka akan tahu bagaimana perilaku seorang pemimpin. Kelak, ia pun akan meniru tingkah laku tersebut.

3. Puji perilaku kepemimpinan mereka
Jika mereka tidak tahu apa yang Anda inginkan, mereka tak akan pernah melakukannya. Karena itu, saat Anda tahu mereka melakukan suatu tindakan memimpin atau membuat keputusan yang baik, sampaikan pada mereka. Katakan, “Nah, gitu dong! Ibu senang kalau kamu mau berbagi!”

4. Lakukan kegiatan yang membantu mereka menunjukkan kemampuan memimpin
Kenalkan mereka pada kegiatan-kegiatan yang membantu mereka melakukan kemampuan memimpin. Misalnya, membantu mengatur barisan teman-temannya saat acara outing dari sekolah. Ketika mereka dibiasakan untuk melakukan hal-hal seperti ini, mereka juga akan mampu mempraktekkannya di rumah maupun di tempat lain.

5. Bantu mereka menentukan tujuan pribadi
Ketika mereka menentukan tujuan untuk diri mereka sendiri, yang tak ada hubungannya dengan kepentingan orang lain, otomatis mereka akan mendemonstrasikan kemampuan leadership. Sebab, mereka akan memimpin diri mereka sendiri.

Kasih Ibu dan Air Susu

Adakah yang menandingi kasih ibu? Sejak anak memulai kehidupannya, seorang ibu akan mempertaruhkan segalanya untuk memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.

Maya Wulandari (34) sedang berada di kantor ketika teleponnya berdering dan suara di seberang sana memberikan kabar mengejutkan. ”Bu, listrik di rumah mati sejak pagi, sudah delapan jam. Susu di kulkas basi semua….”

Maya menangis sejadinya. Yang dimaksud ”susu” adalah tabungan air susu ibu (ASI) miliknya yang dikumpulkan dengan susah payah agar anaknya, Elang, yang kala itu masih berusia enam bulan, bisa memperoleh ASI eksklusif.

”Jumlahnya puluhan botol, masing-masing 150 ml. Sampai di rumah, saya hanya bisa menangis ketika membuang isi botol susu. Saya tidak sanggup membuangnya ke lubang toilet. Jadi, saya siramkan ke tanaman saja,” kata Maya.

Ia pantas menangis karena perjuangan untuk menghasilkan satu botol susu saja tak mudah. Begitu keluar rumah dengan sepeda motornya pukul 05.30, Maya harus memompa ASI-nya di kantor minimal empat kali karena ia baru bisa kembali di rumah pukul 20.00.

”Saya memompa ASI di kamar mandi karena kantor saya saat itu belum punya ruang laktasi. Tetapi, gara-gara saya memompa, yang antre di luar toilet jadi panjang. Sebagian yang menunggu mengeluh. Itu membuat saya stres. Untung suara pompa elektrik yang saya gunakan terdengar sampai keluar. Jadi, saya hanya berharap yang mengantre maklum,” kata Maya.

Pengalaman Inda Malinda (29), yang pada saat menyusui masih menjadi karyawan sebuah perusahaan operator telepon seluler, juga tak kalah riskan. Ia harus memerah ASI-nya di kolong meja.

”Saya harus mencari kolong meja, lalu memompa ASI cepat-cepat. Meja saya tutupi dengan kursi-kursi. Saya minta tolong teman untuk menjaga kalau-kalau ada orang yang lewat. Dia akan mengatakan kepada orang yang mau melintas, ’Eh, jangan lewat sini, ada yang lagi mompa’,” kata Inda.

Bagi ibu-ibu pekerja di kota besar seperti Jakarta, mengupayakan ASI eksklusif selama enam bulan bagi bayi mereka seperti yang dianjurkan dunia kedokteran menjadi penuh perjuangan. Para ibu harus ”jungkir balik” untuk menekan stres akibat minimnya fasilitas dan dukungan dari lingkungan sekitar. Belum lagi kondisi Jakarta yang tidak ramah. Jalan yang selalu macet, angkutan umum yang saling impit dan berdesakan.

”Di kota seperti Jakarta, lingkungan yang kurang mendukung menjadi faktor dominan kesulitan ibu untuk menyusui. Banyak ibu menyusui adalah pekerja, dan mereka banyak yang tidak mendapat dukungan dari kantornya. Itu menjadikan kondisi perempuan terjepit,” ujar Ketua Satgas Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dokter I Gusti Nyoman Partiwi yang memaparkan hasil riset kualitatif IDAI di beberapa kota.

Dukungan dari kantor, menurut Partiwi, tidak cukup dengan sekadar menyediakan ruang laktasi. Tetapi, karyawan yang bersangkutan perlu diberi waktu untuk memompa ASI-nya dan merasa nyaman dengan kondisinya.

Merujuk pada kasus Maya, beberapa bulan kemudian, sekitar pengujung tahun 2010, kantornya menyediakan ruang laktasi yang, walaupun sempit, cukup aman bagi para ibu untuk memerah ASI-nya. ”Tetapi, yang membuat saya nyaman adalah dukungan dari atasan maupun rekan sejawat,” ujarnya.

Masa depan kita
Saat ini hanya 22-27 persen ibu di Indonesia yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Padahal, persentase kematian bayi di Indonesia sekitar 35 persen dari 1.000 kelahiran. Dan itu terjadi pada usia bayi 0-40 hari. Pemberian ASI eksklusif, demikian Partiwi, bisa mencegah 13 persen angka kematian bayi.

Untung saja, di tengah segala keruwetan itu, tetap banyak ibu yang punya mimpi besar tentang masa depan generasi bangsa yang lebih baik. Ikhtiar itu dilakukan dengan memberikan nutrisi terbaik melalui ASI. Seperti pemandu acara Sophie Navita (34) yang akhir tahun lalu dinobatkan sebagai satu dari 10 tokoh ”Pendekar Anak” oleh Unicef berkat kepeduliannya pada pemberian ASI eksklusif.

”Sewaktu memberikan ASI kepada anak pertama saya, Rangga (7), dahulu, saya banyak mengalami kesulitan karena pengetahuan saya masih minim soal manajemen laktasi. Padahal, seharusnya hal itu mudah diatasi karena ada caranya. Karena pengalaman itu, saya bertekad jangan sampai ibu-ibu lain mengalami hal seperti saya,” kata Sophie, yang kini menjadi konselor laktasi.

Sahabat Sophie, Artika Sari Devi (31), juga berkomitmen menyosialisasikan ASI. Demi bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan kepada putrinya, Sarah Abiela ”Abby” Ibrahim (16 bulan), ia mengajukan syarat bagi pihak mana pun yang menawarinya pekerjaan. Di antaranya, ia minta disediakan tempat berpendingin udara untuk menempatkan anaknya yang ikut ke mana pun ia pergi. Selain itu, ia juga meminta waktu istirahat beberapa jam agar bisa menyusui Abby.

Persyaratan itu diajukan resmi hitam di atas putih oleh Artika. Ini sekaligus menjadi upayanya untuk menyosialisasikan aturan perlindungan terhadap ibu menyusui yang terdapat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Misalnya saja, dalam Pasal 128 antara lain disebutkan, ”setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis”.

Dalam ayat berikutnya juga disebutkan, ”selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus”.

Rarasati Syarief, wartawan media nasional yang sudah delapan tahun terakhir bertugas meliput di lingkungan Istana Presiden, juga membuat perjanjian dengan kantor tempatnya bekerja setelah cuti melahirkannya habis. Ia meminta agar tidak ditugaskan ke luar kota dan ke luar negeri sampai anaknya berumur dua tahun.

Farahdhiba Tenrilemba (32) juga merasa beruntung karena tempatnya bekerja memberi izin cuti melahirkan selama enam bulan agar ia bisa memberikan ASI secara eksklusif. ”Tetapi, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja supaya bisa selalu berada di samping Rafa,” kata Dhiba.

Momen menyusui putranya, bagi Dhiba, adalah yang bisa menguatkannya untuk tetap ”hidup”. Dia harus tetap bertahan ketika suami menceraikannya pada saat Rafa baru berusia 1,5 tahun. ”Di tengah cobaan itu, hanya Rafa-lah yang membuat saya berpikir bahwa saya harus tegar. Saya harus tetap ada supaya bisa menyusuinya. Karena bagi saya saat itu, semuanya terasa ’mati’,” kata Dhiba yang akhirnya berhasil menyusui Rafa sampai sang anak berusia dua tahun tujuh bulan.

4 Cara Mengatasi Bayi yang Menangis

Menangis adalah cara bayi berkomunikasi dengan Anda untuk memberitahukan apa keinginannya. Namun terkadang, tangisan itu bisa membuat Anda panik dan bingung. Berikut ini empat cara mengatasi tangis bayi, seperti dilansir dari Fit Pregnancy.

1. Penuhi Kebutuhannya
Salah satu cara mengatasi tangis bayi adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Cari tahu
apakah bayi lapar? Mengantuk? Buang air kecil atau besar? Dengan mengecek kondisi bayi secara teratur dan memastikan dia baik-baik saja, Anda bisa mengurangi risiko dia akan menangis.

2. Mengurangi Stimulasi yang Berlebihan
Terkadang bayi menangis meskipun semua kebutuhannya sudah Anda penuhi. Hal ini biasanya terjadi karena dia terlalu banyak mendapatkan stimulasi. Stimulasi ini bisa bermacam-macam, seperti cahaya, suara dan orang-orang di sekitarnya.

Bayi selama ini berada di dalam kandungan selama hampir 10 bulan dan berada dalam lingkungan yang gelap. Begitu lahir, dia tiba-tiba berada di lingkungan yang terang,
banyak suara dan dikeliling banyak orang. Bayi baru lahir butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Oleh karena itu mereka bisa saja tiba-tiba menangis karena tidak nyaman.

Jika bayi Anda menangis tiba-tiba padahal semua kebutuhanya sudah dipenuhi, coba bawa bayi ke ruangan yang lebih tenang. Matikan televisi atau musik yang bisa membuatnya kesal. Gendong bayi dan usap-usap punggungnya untuk menenangkannya.

3. Menggendong Bayi
Menurut situs Instictive-Parenting, beberapa bayi menangis karena ingin merasa lebih baik. Mereka bisa saja menangis karena lingkungan yang membuatnya stres dan merasa kaget saat hidup di luar janin. Jika bayi menangis karena hal itu, gendonglah dia dan biarkan tangisan itu. Namun tunjukkan padanya kalau dia boleh menunjukkan emosinya. Jangan timang bayi terlalu keras. Cobalah alihkan perhatiannya dengan mainan. Dengan membiarkan bayi menangis untuk melepaskan stres yang dirasakannya, episode tangisan ini akan berangsur-angsur berkurang.

4. Kontrol Emosi Anda
Perlu diingat, bayi sangat sensitif pada lingkungannya. Jika Anda sebagai ibunya merasakan stres, cemas, sedih atau tidak sabar, bayi bisa merasakannya. Apalagi jika Anda merasakan perasaan-perasaan tersebut saat menggendongnya. Cobalah kontrol emosi Anda dan ubah rasa tidak nyaman itu menjadi rasa cinta.